BREAKING NEWS
Cenderawasih News, Mengabarkan Untuk Semua, Menjangkau Lebih Luas.
Kamis, 9/10/2025

OPINI : Adat sebagai Jalan Tengah Pembangunan Papua : Sebuah Tinjauan Menerjemahkan Konsep  Dr.Ir. Mervin Komber dalam Tulisan Membangun Tanah Papua dengan Adat. Oleh Ferdinandus Nauw, S.Pd., M.Pd*)

OPINI : Adat sebagai Jalan Tengah Pembangunan Papua : Sebuah Tinjauan Menerjemahkan Konsep  Dr.Ir. Mervin Komber dalam Tulisan Membangun Tanah Papua dengan Adat.

Oleh Ferdinandus Nauw, S.Pd., M.Pd*)

 

Tulisan “Membangun Tanah Papua dengan Adat” oleh Dr. Ir. Mervin Komber yang dirilis dalam kolom opini ( https://kumparan.com/mr-irian/24kvoAgVlzz?utm_source=App&shareID=th6PXI1Mlv3B&utm_medium=copy-to-clipboard https://kumparan.com/mr-irian/opini-membangun-tanah-papua-dengan-adat-24kvoAgVlzz ) bukan hanya refleksi atas perjalanan sejarah Papua, tetapi juga tawaran solusi konkret berbasis realitas kultural. Di tengah kompleksitas relasi Papua dan Jakarta, gagasan ini menjadi semacam “jalan tengah” yang layak dipertimbangkan dalam arah pembangunan Papua ke depan, terutama di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.

Membangun Papua: Dari Infrastruktur Menuju Kultur

Selama dua dekade terakhir, paradigma pembangunan Papua berkutat antara pendekatan keamanan, kesejahteraan, dan infrastruktur. Presiden Jokowi misalnya, dikenal intens membangun Papua lewat jalan, bandara, dan konektivitas. Namun pendekatan ini cenderung mengedepankan logika negara, bukan logika masyarakat adat. Di sinilah letak pentingnya gagasan Komber: membangun Papua tidak sekadar membangun fisik, tetapi membangun jiwa masyarakat Papua dan jiwanya itu adalah adat dan budaya.

Komber menyampaikan bahwa identitas orang Papua tidak tunggal, tetapi berakar dari relasi spiritual dan ekologis mereka dengan alam, leluhur, dan komunitas. Maka, pembangunan yang tidak menyentuh akar-akar tersebut akan selalu terasa “asing” bagi masyarakat Papua. Pembangunan semacam itu justru bisa melukai harga diri orang asli Papua dan menciptakan perasaan termarjinalisasi di tanahnya sendiri.

Adat sebagai Sistem Sosial-Ekologis

Adat dalam konteks Papua bukan hanya simbol, tetapi sistem sosial dan ekologis yang utuh. Dari tulisan Komber, kita menemukan bagaimana sistem adat telah terbukti menjaga keseimbangan antara manusia dan alam, sesuatu yang justru dikejar-kejar oleh agenda pembangunan berkelanjutan global saat ini.

Sistem seperti sasi di Bomberay misalnya, tidak hanya berfungsi melestarikan tanaman, tetapi juga menjadi mekanisme kontrol sosial, distribusi hasil, dan pendidikan lokal. Ketika adat dijadikan dasar pembangunan, yang terjadi bukan sekadar konservasi, tetapi transformasi masyarakat yang membumi.

Mengapa Adat Bukan Romantisme?

Sebagian pihak mungkin melihat pendekatan adat sebagai bentuk “romantisisme masa lalu”. Namun studi-studi ilmiah seperti yang dikutip Komber dari CIFOR, Tebtebba hingga LIPI justru menunjukkan bahwa pendekatan berbasis adat lebih efektif dalam mengurangi konflik sosial, menjaga lingkungan, dan meningkatkan kesejahteraan.

Adat bukan nostalgia. Ia adalah sistem hidup yang terus berevolusi dan beradaptasi. Ketika negara datang dengan teknologi dan modal, masyarakat adat datang dengan pengetahuan lokal, nilai solidaritas, dan daya tahan budaya. Yang perlu dilakukan negara bukan menghapusnya, tetapi mengintegrasikannya secara setara dalam kerangka pembangunan nasional.

Peran Strategis Pemerintah dan Utusan Khusus

Komber mengusulkan agar tidak perlu ada lembaga baru seperti UP4B atau UKP OTSUS, melainkan cukup menunjuk seorang utusan khusus Presiden yang memahami konteks Papua secara holistik sosial, politik, dan kultural. Ini merupakan solusi praktis yang bijak, sebab institusi adat, MRP, dan DPRP sudah tersedia, tinggal bagaimana pemerintah pusat membangun orkestrasi dan kepercayaan yang sejajar.

Utusan khusus ini idealnya adalah seseorang yang bukan sekadar “ditugaskan”, tetapi diterima dan dipercaya oleh masyarakat adat Papua. Sosok ini harus mampu mengkomunikasikan harapan rakyat Papua kepada pusat, sekaligus menjelaskan arah pembangunan pusat kepada rakyat dengan bahasa dan pendekatan yang akrab secara budaya.

 

Menutup Luka, Merajut Masa Depan

Papua telah lama menjadi “ruang kompromi” antara mimpi kemerdekaan dan kebijakan integrasi. Dalam ruang kompromi itu, pendekatan adat bisa menjadi jembatan kultural yang menyembuhkan luka sejarah. Komber menulis dengan nada penuh harapan, bukan kemarahan, Dr. Komber mengajak semua pihak untuk memulai pembangunan bukan dari instruksi, melainkan dari pemahaman. Jika kita ingin melihat Papua yang damai, sejahtera, dan lestari, maka pendekatan adat bukan hanya layak tetapi mendesak. Sudah saatnya negara membangun Papua bukan hanya dari Jakarta, tetapi dari kampung-kampung, dari hutan, dari rumah adat, dari tifa, dan dari kisah leluhur. Papua tidak sedang menolak pembangunan. Papua hanya ingin dibangun dengan cara yang manusiawi yang menghormati adat, merawat lingkungan, dan memuliakan warganya.

 

*) Penulis adalah Sekretaris Jenderal Solidaritas Guru Asli Papua, Alumni PMKRI